Selasa, 26 Juli 2011

Kebijakan Pembangunan Pemerintahan Orde Reformasi

Adalah sangat disayangkan, Pemerintah Orde Reformasi ternyata menyibukkan diri lebih kepada urusan politik daripada urusan yang menyangkut kebutuhan rakyatnya.

Petinggi Negara, baik eksekutif maupun legislatif, sibuk dengan kepentingannya sendiri kalau soal bicara prioritas anggaran.

Jajaran Eksekutif (baca : Presiden) larut kepada urusan membangun konstelasi politik untuk membentengi kelanggengan kekuasaannya, padahal itu sebenarnya tidak perlu, karena kelanggengan kekuasaan Presiden dilindungi oleh Konstitusi. Alih-alih untuk memperkuat kinerja Pemerintah, Presiden sangat suka melakukan hal-hal yang identik dengan pemborosan uang rakyat. Coba saja, di Era SBY, berapa Komisi Negara yang dibentuk? Berapa Jabatan Wakil Menteri yang diciptakan? Berapa kali menaikkan gaji aparatur negara, yang dengan hebatnya membuat kesenjangan luar biasa antara aparatur rendahan dengan pejabat? Ditambah sistem renumerasi penggajian yang tidak diimbangi dengan punishment yang tegas? Dan banyak lagi. Muaranya jelas, berapa % alokasi belanja pegawai di Era SBY dalam APBN? Bandingkan dengan alokasi anggaran belanja pembangunan (baca : untuk rakyat). Apalagi kalau berbicara mengenai kewajiban negara dalam pemenuhan anggaran pendidikan 20% APBN, tak lebih ibarat impian di siang bolong, padahal itu perintah MPR.

Jajaran Legislatif tak kalah parahnya. DPR memiliki hobi membentuk pansus untuk urusan remeh temeh, dan 100% hasil akhir pansus hanya pepesan kosong. Pansus hanya jadi panggung perdebatan politik tidak bermutu dan sarat pembodohan publik, cuma satu yang pasti : milyaran rupiah anggaran pansus sukses dihabiskan. Lalu, dengan tanpa merasa dosa, menghamburkan anggaran hanya untuk studi banding ke luar negeri. Adakah manfaatnya bagi rakyat? Ataukah, adakah manfaatnya bagi tumbuhnya kearifan para anggota dewan? Jawaban kita tentunya : Ya tidaklah, sama sekali tidak ada. Tapi, jangan minta para anggota dewan mendengar jawaban kita, percuma, sungguh sia-sia, karena telinganya tuli dan matanya buta. Minta saja mereka bertanya pada hati nuraninya, disitu ada jawabannya. Kekonyolan lain adalah menggebu-gebunya semangat membangun gedung DPR, seolah-olah sedang memperjuangkan kehendak rakyat Indonesia yang memimpikan gedung DPR baru dan mewah. Gedung baru yang sangat "tidak indonesia" ditilik dari sisi artistika arsitekturnya, tidak selaras sama sekali dengan gedung MPR yang unik dan khas Indonesia, yang telah lahir terlebih dahulu sebagai monumen kebanggaan Indonesia.

Semua kebijakan "yang pro rakyat" itu semua, alhamdullilah menggerogoti APBN seperti virus ganas.

Padahal, jauh lebih penting untuk misalnya memikirkan secara serius dan totalitas, pembangunan perbatasan, yang jelas jauh lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Totalitas dimaksud adalah pengerahan sebanyak mungkin pemikiran dan sumberdaya. Pembangunan perbatasan akan meningkatkan nasionalisme bangsa. Kemudian, mesti diyakini, dengan pembangunan perbatasan yang terpadu, akan menggerakkan migrasi penduduk dari kota-kota yang padat, ke daerah perbatasan, sejalan dengan meningkatnya perekonomian perbatasan sebagai dampak pembangunan perbatasan. Ini menjadi solusi bagi peningkatan Pertahanan dan Ketahanan Nasional. Cara berpikir bahwa membangun perbatasan yang berpenduduk sedikit saat ini menjadi hanya dipandang sebelah mata, menunjukkan bahwa Pemerintah hanya menganut pola instan. Kebijakan sesaat.

Kembali ke soal transportasi Jawa Sumatera. Pemerintah memandang bahwa membangun Jembatan Selat Sunda adalah pilihan satu-satunya dan pilihan terbaik. Benarkah?

Jembatan Selat Sunda, benarkah solusi terbaik?

Mengapa, kalau Negara mampu menyediakan anggaran 100 trilyun rupiah untuk membangun jembatan ini, kenapa tidak dialihkan saja untuk merehabilitasi dan mengembangkan dermaga yang ada, membeli kapal-kapal Ferry yang baru dan tangguh untuk mengarungi samudera, yang menyerap dana jauh lebih kecil. Alokasi anggaran sisanya bisa dialihkan ke pembangunan perbatasan misalnya, sehingga pemerataan pembangunan lebih dirasakan rakyat.

Dengan alternatif ini saja, efektivitas dan efisiensi sistem transportasi ini dapat ditingkatkan, yang pada gilirannya dapat menekan biaya operasi transportasi bagi pengguna jasa. Sementara di sisi lain, keberadaan sistem transportasi penghubung dengan pengangkutan laut ini menyerap banyak tenaga-kerja di sektor pelabuhan dan angkutan laut.

Kalau alternatif pemecahan masalah penghubung transportasi Jawa-Sumatera bisa diambil alternatif yang lebih murah, mengapa memilih membangun Jembatan? Apakah lebih ekonomis bagi Negara membangun dan memelihara jembatan daripada memelihara dan mengembangkan saja sistem transportasi yang ada?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar